Rabu, 28 September 2011

CIPERA (MASAK AYAM ALA BATAK KARO)

Mejuah-juah! Begitulah sapaan yang kita terima bila singgah ke Kedai Karo ini. Kenapa bukan "horas"? Karo memang merupakan subkultur Batak yang berdiri sendiri, khas, dan unik. Tidak heran bila secara kuliner pun masakan Karo beda dari masakan Toba, Simalungun, maupun Mandailing. Tentu saja, seperti juga masakan Nusantara lainnya, selalu ada persamaan atau kemiripan.

Ola Kisat - berarti: jangan malas - mem-posisi-kan diri secara tegas sebagai Kedai Karo. Karena itu, janganlah menganggapnya sama dengan Lapo Batak yang mungkin sudah Anda kenal selama ini. Bahkan, maaf, untuk babi panggangnya yang khas, orang Karo punya ikon sendiri yang disebut bepeka (BPK = babi panggang Karo). Coba sendiri kekhasan masakan Karo di Ola Kisat yang baru saja buka, untuk melengkapi pengalaman kuliner Anda.

Karena orang Karo beragama Islam dan Kristen, tentu saja banyak masakan non-babi dalam perbendaharaan kuliner mereka. Ketika singgah ke Kabanjahe dua tahun yang silam, saya beruntung sempat mencicipi kidu (larva sagu) yang dimasak arsi (gulai kuning) khas Karo. Kidu berbeda dengan kidu-kidu. Yang terakhir ini juga sajian khas Karo, tetapi termasuk non-halal karena dibuat dari usus babi dan diisi daging babi cincang - seperti sosis.

Di Tanah Karo, ada masakan ayam yang sangat populer dengan nama cipera. Potongan ayam kampung - termasuk leher, sayap, kaki, hati-ampla - dimasak dengan tepung jagung sampai empuk dan berkuah kental. Tepung jagungnya harus dari bulir tua jagung Medan, agar menghasilkan kuah yang kental. Tepung jagung inilah yang sebenarnya disebut cipera. Kuah kental ini bercitarasa pedas karena memakai tuba (andaliman = Shanghai peppercorn), dan sedikit asam karena memakai asam tikala (dari buah honje/kecombrang). Selain ayam, juga dicampurkan jamur merang ke dalam kuah. Ayamnya dimasak hingga sangat lunak dan menyerap bumbu.

Ketika mencicipi cipera, mau tidak mau ingatan saya terbang ke masakan Colombia yang disebut sancocho. Masakan ini juga memakai semua bagian ayam, berkuah kental dengan citarasa asam pedas yang menonjol. Bedanya, sancocho dari Colombia dikentalkan dengan labu kuning (waluh), dengan bumbu perasan jeruk nipis, paprika hijau, dan daun ketumbar yang digiling halus. Sancocho juga ada di Republik Dominika, tetapi proteinnya dari buntut dan iga sapi.

Di Ola Kisat, paket cipera dengan nasi putih dan sayur daun ubi dihargai Rp 25 ribu. Sayur daun ubi (singkong) dapat diganti dengan sop (non-halal) atau daun ubi cincang. Bagi saya, daun ubi cincang Ola Kisat sangat mengesankan. Berbeda dengan masakan serupa di Toba, di Tanah Karo masakan daun ubi cincang-nya tidak berkuah. Bila dipadukan dengan sambal cabe rawit hijau dan andaliman yang pedasnya menggigit, jadilah tumis daun ubi cincang ini sajian istimewa.

Dalam tradisi aslinya, paket hidangan seperti di atas disebut tasak telu alias tiga sajian. Potongan ayam biasanya dikeluarkan dari kuah kental, lalu dimasak lagi dengan gota (getah, darah ayam - optional). Kuah kental sebagai sajian kedua, boleh disiramkan di atas ayam. Sajian ketiganya adalah sayur cincang - tidak hanya daun ubi, melainkan juga kacang panjang, batang pisang, jantung pisang, daun pepaya, dan tauge.

Ola Kisat juga menyajikan masakan ikan mas arsik khas Tapanuli, teri medan (ditumis balado), dan bepeka yang harus diacungi jempol. Minumnya tentu saja harus jus martabe, yaitu jus markisa dengan terong belanda yang asam segar. Sangat kontras untuk meredam pedasnya andaliman yang membuat lidah kelu. Seh kel tabehna. Lezat 'kali!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar